Wednesday, June 13, 2012

Karakter Sang Kuda

Oleh Arif Budi Utomo <budiutomo.arif@rocketmail.com>

Telah kita ulas dalam kajian pembuka, problematika umat dalam dimensinya. Benturan peradaban dan realitas kehidupan yang melingkupinya, mengakibatkan bauran kesadaran yang sulit di pahami bagi jiwa-jiwa manusia. Bagaimanakah memahami kebutuhan manusia akan materi dan juga disisi lainnya yaitu kebutuhan manusia akan spiritual. Kesulitan manusia dalam memahami realitas hidup yang terpampang di hadapanya telah menghijab sang jiwa untuk menuju Tuhannya.

Realitas hidup manusia bagi jiwa-jiwa mereka adalah apa yang nampak di hadapan mereka sehari-hari. Manusia sulit sekali memahami bahwa realitas hidup manusia sesungguhnya adalah kehidupan nanti di akherat. Sulitnya memahami dualitas dunia dan akherat telah menjebak diri manusia kepada kekafiran. Maka al quran selalu mengingatkan kepada umat Islam agar yakin akan adanya dunia akherat. Manusia harus yakin akan adanya dualitas pemahaman yaitu bagaimana memahami mana yang realitas dan manakah sebenarnya yang ghaib. Kemudian selanjutnya bagaimanakah menentukan realitas dan keghaiban bagi jiwa mereka. Yang manakah yang lebih di prioritaskan bagi jiwa mereka.

Mana yang lebih real bagi jiwa mereka apakah dunia dengan segala dinamikanya ataukah akherat ?. Masing-masing diri harus mampu menetapkan prioritasnya, membuat keseimbangan pemahaman dalam diri mereka masing-masing agar tidak menjadi galau saat berhadapan dengan benturan peradaban dewasa ini. Untuk itulah al qur an di turunkan. Agar mereka mampu memahaminya, agar mereka tenang menghadapi peperangan mereka sendiri, baik dalam realitas hidup maupun dalam realitas yang tersembunyi di dasar hati mereka masing-masing.

Setiap diri harus memiliki karakter KUDA PERANG, sebagaimana di isyaratkan dalam Al quran surah Al ‘adiyat, yang menjadi tajuk dalam kajian ini. KUDA-KUDA PERANG YANG BERLARI KENCANG. Adalah karakter jiwa muslim yang perkasa, tak mengenal takut dalam menghadapi peperangan mereka sendiri. Peperangan dalam memaknai realitas dunia dan akherat. Peperangan dalam menentukan prioritas hidup dunia atau akherat. Prioritas dalam menentukan pilihan hidup beriman ataukah kafir. Agar mereka tenang, puas dan ridho telah di pilih Allah menjadi khalifah (manusia) di muka bumi ini.

Marilah kita mulai saja kajian ini, mengambil setting jiwa manusia. Jiwa manusia yang laksana KUDA. Bermacam-macam jenis KUDA dengan macam pula watak dan tabiat mereka masing-masing. Karakter sang KUDA yang menggumuli bersama galau manusia atas realitas kehidupannya sehari-hari. Karakter Kuda perang yang gagah perkasa, tak kenal takut, pantang menyerah, atau Kuda liar yang sulit dikendalikan, atau juga Karakter sang Kuda Poni yang manis manja, dan masih banyak pula jenis Kuda-kuda lainnya, dengan tabiat, sifat dan watak dan karakter mereka masing-masing tentunya. Bagaimanakah semua karakter tersebut dalam tapak-tapak takdir mereka masing-masing. Sebegitu kuat karakter sang Kuda Perang. Bagaimanakah itu ?. Mengapakah Allah menhgambil sumpah atas karaketr sang KUDA PERANG ?.

Demi Sang Kuda perang, berlari kencang terengah-engah
Dan Kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kaki-kakinya)
Dan Kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi
Sehingga menerbangkan debu
Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh
Sungguh manusia itu sangat ingkar (tidak bersyukur) kepada Tuhannya
Dan sesungguhnya manusia menyaksikan (tahu) keingkarannya
Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan
Maka tidaklah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur di keluarkan
Dan apa yang tersimpan di dalam dada di lahirkan
Sungguh, Tuhan mereka (pada hari itu) Maha teliti terhadap keadaan mereka itu
(QS. Al-Adiyat 1-11)

Begitu perkasa, begitu kuat karakter sang Kuda Perang. Karakter yang mewakili kuatnya keimanan seseorang. Begitulah ditampilkan di jelaskan perumpamaan keimanan manusia, atas dualitas jiwa manusia, Jiwa manusia yang telah memahami Islam dan mendapatkan hidayah Allah, adalah sebagaimana perumpamaan Kuda Perang ayat 1-5. Semisal halnya dengan karakter dan watak sang Kuda Perang tersebut.

Bayangkanlah kegagahan mereka, keyakinan mereka, keberanian mereka, langkah mereka yang menderap memercikan api dan menggulung debu ke angkasa, tak ada satupun yang mampu menghalangi jalan mereka. Begitulah jiwa mereka, begitulah keimanan mereka. Merekalah jiwa-jiwa yang mampu meniti takdir kehidupan mereka itu dengan semangat membaja tidak kenal kata takut. Merekalah jiwa-jiwa yang berani hidup. Merekalah jiwa-jiwa yang siap berperang melawan hawa nafsu , dengan pukulan mereka yang memercikan api, menakuti jin , syetan dan Iblis yang melingkupi diri dan dalam hati mereka.

Merekalah yang menerbangkan debu saat pagi dengan derap kaki mereka. Langkah menderap dengan sigap melaksanakan tugas khalifah di muka bumi ini. Merekalah wali-wali Allah. Merekalah manusia yang tidak pernah bersedih hati. Mereka menerjang, berlari, menyerbu kumpulan musuh, tak peduli banyak diantara musuh mereka adalah para jin, syetan, iblis, bahkan manusia itu sendiri.

Tidak ada kata takut, sekali berarti setelah itu mati. Tidak ada keraguan, semua berbekal keyakinan keimanan atas kehendak-NYA. Atas TAKDIR yang melingkupi diri mereka. Atas QODHO DAN QODAR. Mereka yakin DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH DAN MAHA PENYAYANG. Semua adalah atas nama kasih sayang-NYA.

Sama saja bagi mereka. Dualitas apapun dalam dimensi pemahaman manusia bagi mereka sama saja. Sebab bagi mereka, kemanapun wajah mereka menghadap disitulah ada Allah. Disisi sebelah manapun mereka bergerak dan menginjakkan kaki disitulah kasih sayang Allah. Semua keadaannya hanya kasih sayang Allah karenanya. Dalam kesadarannya hanya ada ALLAH, ALLAH dan hanya ALLAH. Karena itu apapun rintangan yang menghadang di depan mereka, tak pernah menyurutkan derap langkah kaki mereka. Tak surut kaki selangkahpun meski badai menerjang mereka dari muka dan belakang mereka. Begitu kuatnya keimanan mereka. Begitulah karakter sang KUDA PERANG.

Luka, senang, sedih, bahagia, sama saja, semua adalah kasih sayang-Nya semata. Maka mereka terus menderap, memercikan api dari kuku mereka, menerbangkan debu di sekelilingnya, dengan sigap maju ke medan pertempuran. Pertempuran yang maha dahsyat. Pertempuran melawan nafsu pada diri mereka sendiri. Pertempuran dalam dimensi dualitas manusia. Mereka di lahirkan untuk siap dalam setiap peperangan sebagaimanapun keras dan dahsyatnya perang itu, tak surut kaki dan derap mereka. Itulah karakter sang Kuda Perang.

Karakter pembeda

Namun di sisi sebaliknya, di jelaskan adalah jiwa manusia yang begitu ingkar. Begitu pongahnya manusia atas keadaan yang sesungguhnya kejadiannya adalah hanya berkat rahmat-Nya semata. Hanya rahmat-Nya semata yang menyebabkan sehingga mereka dalam keadaan seperti sekarang ini. Namun mereka lupa itu, mereka mengingkari keadaan itu. Mereka menutup telinga mereka atas penjelasan ini.

Sungguh kaarakter yang berlawanan dengan karakter sang KUDA PERANG. Namun begitu, tak luput, sejatinya mereka sesungguhnya mengetahui bahwa diri mereka itu sebenarnya dalam pengingkaran atas nama-NYA. Mereka tengah mengingkari Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Mereka sebenarnya menyadari dan tahu itu. Ada Bashiroh yang tahu, yang memberitahu jiwa mereka. Sayang hijab realitas dunia terlalu kuat, mereka tak mampu memahami realitas akherat yang sejatinya lebih real. Realitas akheratlah sesungguhnya realitas yang sejati bagi jiwa mereka. Mereka telah terhijab, mereka ter cover , mereka telah kafir atas mau mereka sendiri, dalam kesadarannya sendiri.

Jiwa manusia senantiasa lemah. Kasih sayang Allah, mereka kesampingkan. Mereka anggap itu adalah usaha mereka semata, atau kebetulan semata. Mereka tidak pernah ber syukur, mereka berfikir bahwa apa yang mereka dapatkan (takdir) yang melingkupi diri mereka adalah atas usaha mereka sendiri. Padahal mereka tahu itu.

Watak dan tabiat mereka ber kebalikan dengan sang Kuda Perang. Mereka penuh keraguan, gamang, ketakutan, was-was, dan lain-lainnya. Mereka menyimpan galau, ketidak pastian, ketidak yakinan. Maka tidakkah mereka mengetahui apabila apa yang di dalam kubur di keluarkan dan apa yang tersimpan di dalam dada di lahirkan. Malukah mereka ?. Seperti apakah diri mereka ketika itu ?. Apakah nantinya sama keadaan mereka mereka itu ?. Biarlah nanti toh mereka-mereka akan tahu dengan sendirinya. Hidup adalah pilihan, maka terserah kepada jiwa manusia mau beriman ataukah kafir.

Karenanya, menjadi pertanyaan, memiliki karakter seperti apakah manusia yang mampu membangun realitas takdir mereka sendiri ?. Sehingga jiwa manusia mampu melihat realitas sejati bagi dirinya. Seperti apakah keimanan mereka ?. Sebagaimana menjawab ulasan di awal kajian ini.

Mari kita urutkan dari muasalnya. Memahami dimanakah muaranya, apa kaitanya dan mengapa karakter Kuda Perang menjadi sumpah Allah ?. Dan mengapakah ulasannya selalu di kaitkan dengan TAKDIR. Untuk apakah memahami takdir itu sendiri ?. Dan apakah kaitannya TAKDIR, IMAN, KHUSUK, dan TAKWA, dalam bahasan kita, apakah untuk memahami realitas itu sendiri?.. Ataukah kita perlu memahami itu semua, untuk membentuk karakter kita sebagaimana karakter sang KUDA PERANG ?. Dan mengapakah kita mesti membangun realitas takdir diri kita. Apakah agar hidup kita tenang, puas dan ridho ?. Mari mengalir saja, kita gulirkan saja kajian ini.

Wallahua'lam.
Baca Selengkapnya »»

Friday, May 25, 2012

Tentang Sifat Malu

Sebagian rasa malu kepada Allah adalah taqwa atau takut kepada-NYa.

Sebagian rasa malu kepada Allah Subhanahu Wata’ala adalah taqwa atau takut kepada-Nya dan sebagai tandanya adalah ketika disebut nama Allah Subhanahu Wata’ala maka bergetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala maka bertambah rasa keimanannya kepada Allah SWT.

Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surat Al-Anfal ayat 2 dijelaskan “Bahwasannya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah Subhanahu Wata’ala, maka gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah SWT maka bertambahlah keimanan mereka karenanya dan kepada Allah lah mereka bertawakkal”.

Ayat tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa tandanya orang yang beriman itu bila mendengar nama Allah Subhanahu Wata’ala disebutkan, maka bergetarlah hati mereka dan bila ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala dibacakan maka imannya bertambah dan dalam segala sesuatu mereka selalu bertawakkal kepada-Nya.

Salah satu dari akhlaq Rosulullah Sallallahu Alaihi Wasallam adalah malu, sebagimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri Radiyallahu anhu, ia berkata “Adalah Rosulullah Sallallahu Alaihi Wasallam lebih malu dari pada gadis dalam pingitan maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kita bisa mengetahui dari wajah beliau”. Hadits tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa kita dianjurkan untuk memiliki sifat malu sebagaimana Rosulullah Sallallahu Alaihi Wasallam memiliki sifat malu.

Sifat pemalu itu merupakan salah satu bagian dari iman, sebagaimana Rosulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda “Malu itu sebagian dari iman”.

Yang dimaksud malu menurut bahasa ialah perubahan manusia karena takut atau khawatir terhadap suatu perbuatan yang menyebabkan tercela, dan malu menurut syari’at ialah budi pekerti yang bisa membangkitkan seseorang untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk dan mencegah dirinya dari sifat malas untuk melakukan perintah dan sifat malas itu salah satu sifat yang dibenci oleh Allah SWT.

Rosulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda tentang betapa pentingnya sifat malu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami yang artinya “Barang siapa yang tidak memiliki sifat malu maka tidak ada agama baginya dan barang siapa yang tidak memiliki sifat malu di dunia maka dia tidak akan masuk surga.
Baca Selengkapnya »»

Friday, May 11, 2012

Mempersiapkan Generasi Islam Yang Soleh Dan Solehah Di Masa Yang Akan Datang

Di zaman yang modern saat ini kebanyakan kita sudah kehilangan esensinya dalam penghambaan diri kepada Allah SWT, sehingga dalam bekerja dan berusaha menghalalkan berbagai macam cara demi keinginan dan cita-cita.

Di zaman yang modern saat ini kebanyakan kita sudah kehilangan esensinya dalam penghambaan diri kepada Allah SWT, sehingga dalam bekerja dan berusaha menghalalkan berbagai macam cara demi keinginan dan cita-cita.

Sementara ini masyarakat telah berfikiran materialistis serba konsumtif sehingga segala sesuatunya hanya diukur dengan uang, segala sesuatu diukur dengan titel dan jabatan. Dalam hal pendidikan anak pun, banyak orang tua mendidik anak-anaknya bukan lah Allah SWT sebagai tujuan, akan tetapi titel serta jabatan lah yang menjadi tujuan. Satu hal yang wajar, tidak sedikit orang tua menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang pavorit, kelak ketika mereka keluar dari sana mempunyai title yang berderet, profesor, doktor, dan insinyur, harapan kita tentunya kelak ketika mereka bekerja di perusahaan minimal mereka menjadi seorang supervisor atau seorang manajer. Atau mungkin ketika mereka bekerja dipemerintahan mereka diharapkan menjadi seorang mentri atau bahkan bupati.

Satu hal yang wajar dan logis jika orang tua mempunyai cita-cita yang demikian. Tapi alangkah idealnya, alangkah pantasnya buat kita sebagai seorang muslim, anak kita memiliki titel, memiliki jabatan tapi dalam kondisi beriman kepada Allah SWT, sehingga kelak apa bila anak kita menjadi seorang pemimpin, menjadi seorang pemimpin yang takut kepada Allah, menjadi pemimpin-pemimpin yang taat kepada Allah SWT sehingaa kepemimpinannya tidak disalahgunakan. Ia menjadi pemimpin yang amanah karena kehidupan sehari-harinya merasa diawasi oleh Allah SWT. Apabila menjadi seorang pekerja menjadi pekerja yang baik yang taat kepada Allah SWT dan taat kepada atasannya.

Intinya apapun posisi dan status anak-anak kita, mari kita jadikan anak-anak kita menjadi anak yang soleh dan solehah. Bukankah dengan anak-anak yang soleh dan solehah kita akan mendapatkan pensiunan pahala? Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim : “Apabila kamu telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, salah satunya adalah anak yang soleh, anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya..”.

Lalu, bagaimana kita menciptakan pribadi-pribadi anak yang soleh dan solehah untuk masa yang akan datang? Menciptakan pribadi anak yang soleh tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan, perlu usaha maksimal dari kedua orang tua.

Orang Tua Harus Soleh Terlebih Dahulu
Adapaun usaha yang pertama, kita sebagai orang tua harus soleh terlebih dahulu sebagaiman sabda Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dan Abu Hurairoh : “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani , atau majusi”. Anak diibaratkan bagai kertas berwarna putih, mau kita tulis tinta dengan warna merah ia akan berwarna merah, mau kita tulis dengan tinta berwarna hitam ia akan berwarna hitam ia akan mewarnai sesuai orang tua yang mewarnai. Persis seperti pepatah dahulu mengatakan “buah manggah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”, artinya pribadi orang tua akan mewarnai pribadi tingkah laku anaknya, karna anak tergantung kepada kedua orang tua, maka untuk menciptakan pribadi-pribadi anak yang soleh, orang tuanya harus soleh terlebih dahulu.

Kita wariskan kesolehan orang tua kepada anak-anak kita agar negara Indonesia ini kelak mempunyai sosok pemimpin yang taat dan soleh, sehingga senantiasa selalu bertakwa dan menjalankan perintah Allah SWT.

Menanamkan Akidah dan Keimanan
Kedua kita tanamkan akidah, kita tanamkan keimanan, dari sisi akidah mari kita awasi anak-anak kita, jangan-jangan kita sebagai muslim, anak kita tidak tahu siapa Tuhannya karna dalam kehidupan sehari-harinya dia tidak melaksanakan ibadah sholat. Kita jejali mereka dengan pendidikan-pendidikan umum sementara pendidikan agama dikebelakangkan.

Maka kita harus tanamkan akidah kepada anak-anak kita seperti yang dicontohkan oleh Nabiullah Ya’kub AS, dalam surat al-baqoroh dikatakan “Tatkala Nabi Ya’kub AS akan meninggal dunia beliau berwasiat kepada anak-anaknya : “Maa ta’buduuna mim ba’di? Nak apa yang kamu sembah setelah aku mati?” Bukan “Maa ta’kuluuna mim ba’di?” Bukan apa yang kamu makan setelah aku mati nak? Sehingga harta dan warisan kita penuhi, kita berikan kepada anak-anak kita. Jangan heran, jika suatu saat anak-anak kita ribut karena warisan, karna warisan yang kita berikan tidak ditanami dengan keimanan kepada Allah SWT.

Lalu anak-anak Nabi Ya’kub menjawab : “Kami akan menyembah Tuhanmu, Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishak. Menyembah kepada siapa? Allah tuhan yang satu. Kita pastikan anak-anak kita dari sekarang, kita biasakan perhatikan.. Nak sudah sholat atau belum? Jangan kita hanya sekedar makannya saja, Nak sudah makan atau belum? Tapi kita perhatikan ibadahnya, kita tanamkan akidah dan keimanan kepada anak-anak kita, dan kita pastikan anak-anak kita setelah kita meninggal dunia, anak-anak kita memeluk agama Islam, agama yang diberikan oleh Allah SWT.

Menanamkan Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan
Ketiga, menciptakan pribadi-pribadi anak yang soleh dan solehah, kita harus tanamkan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i : Barang siapa ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, jika anak kita ingin menjadi seorang pengusaha kita ajarkan ia menjadi seorang pengusaha, jika anak kita ingin menjadi seorang pekerja, kita ajarkan ia menjadi seorang pekerja yang unggul, yang senantiasa didalam kehidupan sehari-harinya selalu diawasi oleh Allah SWT.

Selajutnya, barang siapa ingin bahagia di akhirat maka harus dengan ilmu. Bagaimana sholat yang baik menurut Rosulullah SAW, dikala kita diamanatkan harta, mari kita bagi kepada si miskin yang papa, karna nanti akan ada pertanggung jawaban, “Hartamu kau dapatkan dari mana dan hartamu kau belanjakan ke mana”, akan dipertanyakan dihadapan Allah swt. Apabila kita berangkat haji ke tanah suci mekah, kita tidak hanya mampu secara harta tapi kita juga mampu secara ilmu sehingga kelak pulang ke tanah air menjadi haji-haji yang mabrur, menjadi suri tauladan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Terakhir, barang siapa ingin berbahagia di dunia dan di akhirat, maka keduanya pula harus dengan ilmu. Agar anak-anak kita kelak bisa bersaing di kehidupan masa yang akan datang, khidupan saat ini sulit, tapi akan jauh lebih sulit di kehidupan anak-anak kita di masa yang akan datang. Di sepuluh tahun, dua puluh tahun masa yang akan datang lapangan kerja akan sulit didapatkan, sekarang saja anak-anak kita bekerja tidak hanya bermodalkan ijazah tapi ia harus menyiapkan sejumlah uang untuk masuk menjadi tenaga kerja yang hanya mendapat status karyawan harian. Padahal Rosulullah SAW telahmengingatkan kita semua, bahwa orang yang disogok dan orang yang menyogok dua-duanya di neraka. Mudah-mudahan harapan kita, anak-anak kita kedepan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini, menjadi pemimpin-pemimpin rumah tangga masyarakat sehingga menjadi “Baldatun, toyyibatun warobbun gofuur”, itu harapan kita.
Baca Selengkapnya »»